PKS, Demokrat dan Korupsi

Sudah satu dasawarsa lebih Indonesia berada di dalam era reformasi sejak runtuhnya rezim Orde Baru, Mei 1998. Namun pemberantasan korupsi sebagai salah satu tuntutan terpenting pejuang reformasi masih juga belum terlaksana secara optimal.

Saat ini Indonesia di bawah kepemimpinan, SBY sudah menunjukkan kinerja yang cukup bagus dalam pemberantasan korupsi. Saat ini, di era SBY, KPK yang merupakan lembaga independen (non pemerintah) telah mampu menindak cukup banyak koruptor, meskipun banyak kalangan masyarakat yang menilai masih belum cukup karena gerakan yang dilakukan oleh KPK belum massif, sangat jauh dari yang seharusnya mampu dilakukan dengan kewenangan yang dimilikinya.

Meskipun demikian, KPK saat ini dianggap oleh berbagai kalangan telah berprestasi, setidaknya sudah ada kemajuan jika dibandingkan dengan KPK di era sebelumnya. Tapi sayang, baru saja mulai bekerja dan mulai berprestasi, 'keberhasilan' ini sudah diklaim oleh parpol-parpol berkuasa sebagai keberhasilan partainya. Sebuah klaim yang dinilai terlalu dini dan kurang pada tempatnya.

Termasuk klaim oleh Partai Demokrat, karena SBY dianggap sebagai representasi Partai Demokrat. Menurut partai ini 'keberhasilan' SBY dalam memberantas korupsi adalah keberhasilan Partai Demokrat juga. Meskipun kemudian banyak partai dan politisi yang tersinggung dan memprotes klaim Partai Demokrat. Mereka berpendapat bahwa 'keberhasilan' pemerintah tersebut adalah keberhasilan kolektif, karena pemerintahanan dibangun oleh banyak kekuatan politik, sebut saja Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PBB, dan lain-lain.

Lalu bagaimana dengan PKS yang jargonnya ‘Bersih, Peduli, dan Profesional’, apakah dalam pemilu 2009 bakalan kalah bertekuk lutut di hadapan Partai Demokrat khususnya dalam isu pemberantasan korupsi?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, Track record kelahiran, PKS didirikan menjelang pemilu 1999 dengan nama Partai Keadilan, lahir bersamaan dengan dibukanya kran demokrasi pasca tumbangnya rezim Soeharto. Sangat kental nuansa/semangat reformasinya. (Kalangan internal PKS sering mengartikan reformasi dengan ‘ishlah’, yaitu mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik dalam arti yang luas).

Sementara Partai Demokrat didirikan menjelang pemilu 2004. Partai ini lahir sebagai kendaraan politik SBY yang hendak maju sebagai Capres. Meskipun mungkin PD tidak setuju dengan pendapat ini, tapi kenyataan itu sulit dinafikan. Dari faktor pendiriannya, nafasnya sudah berbeda antara PKS dan PD.

Kedua, PKS sejak awal berdirinya bahkan jauh sebelum membentuk partai sudah mempunyai basis massa yang solid. Mereka adalah kalangan aktivis masjid di kampus-kampus, ormas-ormas keagamaan, lembaga-lembaga sosial, dan kalangan santri di perkotaan.

Sedangkan Partai Demokrat tidak mempunyai basis massa. Namun demikian PD mampu meraup suara yang signifikan dalam pemilu 2004, setara dengan perolehan suara PKS. Jadi, para pemilih Partai Demokrat adalah masyarakat umum yang dikategorikan sebagai massa mengambang, yang menaruh kepercayaan sangat besar kepada sosok pribadi Susilo Bambang Yudhoyono. Ketergantungan pada sosok tokoh SBY mendominasi wajah dan kultur PD, sebagaimana PDIP dengan Megawati-nya, PAN dengan Amien Rais-nya.

Ketiga, PKS mempunyai lembaga kontrol yang bernama Dewan Syariah. Lembaga ini begitu kuat dan 'berwibawa' di PKS. Dewan Syariah tidak saja memberikan pertimbangan-pertimbangan syariah pada setiap kebijakan partai ataupun permasalahan anggotanya, tapi juga berwenang menegakkan hukum bagi anggota yang melanggar aturan. Sehingga jika ada anggota dan pengurus/pimpinan partai, baik yang menjadi pejabat publik maupun tidak, melakukan kesalahan fatal, terindikasi melakukan kebohongan, kecurangan dalam berbisnis, ada indikasi korupsi, dan sebagainya, mereka terlebih dahulu akan dihadapkan kepada mahkamah partai dan diperbaiki di samping kemudian berhadapan dengan pengadilan negara.

Mekanisme ini secara efektif mampu mengontrol setiap kader PKS untuk tidak melakukan kejahatan publik (korupsi dan sebagainya), sesegera mungkin menarik dan menindak kadernya yang melanggar aturan, dan meminimalisir kemaksiatan-kemaksiatan yang mungkin dilakukan oleh kadernya.

Partai Demokrat sampai saat ini belum mempunyai mekanisme internal sejauh itu. Ini berpotensi menimbulkan permasalahan di lapangan. Jika PD tidak/kurang cermat dalam menyeleksi para caleg dan pejabat di pemerintahan, kelemahan kontrol internal ini bisa menjadikan para kadernya terlalu leluasa dan pada akhirnya bertindak di luar aturan, salah satunya korupsi. Kasus Sarjan Tahir harus menjadi pelajaran yang berharga bagi para politisi PD di masa yang akan datang.

Sebenarnya masih banyak sisi-sisi lain yang membedakan keduanya. Tapi, dari tiga hal di atas sudah cukup memadai untuk mengukur sejauh mana kekuatan dan kemampuan kedua partai tersebut dalam memerangi dan memberantas korupsi.

MA Izzata, hijra.tm@gmail.com

0 komentar :

Posting Komentar

Copyright © 2009 Template design modified by Sadikin